HARMONI KUDA LUMPING MENYATU DI DUSUN GEBUG KALISIDI
![]() |
Foto: Nuraisah Rosita Chika Dewi |
Sanggar Rukun Karya Budaya Sakti (RKBS) , suatu sanggar tari maupun adat yang di dalamnya tidak hanya
terdapat tari kuda lumping, tetapi juga ada leak dari Bali dan barongan. Budaya ini merupakan hasil dari akulturasi budaya antar komunitas budaya. Perbedaan leak Bali dan leak
di sanggar ini, jika leak bali lebih dominan pada keagamaannya,
sedangkan yang dibawakan sanggar Rukun Karya Budaya Sakti lebih menjorok ke
budaya dan keseniannya.
Sejarah dan filosofi keberadaan Kuda Lumping di Desa
Kalisidi
Ada mitos yang dipercaya tetua warga mengenai awal keberadaan kesenian kuda lumping itu bermula dari
kisah para nabi dan Rasul yang yang dipercaya umat muslim yakni berjumlah 25
nabi. Konon, semua nabi ini melakukan pacuan kuda yang setiap nabi mengendarai
seekor kuda. Sayangnya, kuda yang ada hanya berjumlah 24 ekor, nabi Nuh belum
mendapatkan kuda untuk dikendarai. Singkat cerita karena antusiasnya, maka ia akhirnya menggunakan kuda kepang. Lalu nabi Nuh kesurupan oleh sukma kuda sembrani, dan akhirnya nabi Nuh memenangkan pacuan kuda tersebut. Selanjutnya
dinamakan pacuan kuda lumping.
Awal
pertama yang mengenalkan Kuda lumping di tanah jawa adalah para wali—terutama Sunan Kalijaga, yang menyebarkan di tanah jawa. Kuda lumping dapat sampai ke Desa Kalisidi tak lepas
dari peran seorang tokoh pendiri desa bernama Surowono, yang namanya terdiri
dari kata Suro berarti berani dan wono berarti alas. Beliau
berasal dari Tuban dan biasa dikenal dengan sebutan mbah Sarwono. Selain kuda
lumping, budaya yang dikembangkan RKBS berupa wayang, gamelan, dan lain
sebagainya. Budaya tersebutlah yang sekarang dijadikan sebagai bentuk
pensakralan Mbah Sarwono.
Rukun Karya Budaya Sakti didirikan pada 1 November 1988 oleh beberapa
sesepuh desa, diantaranya; Mbah
Jumain, Mbah Slamet, Mbah Nuh, dan Mbah
Pasmin. Namun yang masih hidup sampai sekarang hanya Mbah Jumain dan mbah Slamet yang
sampai sekarang masih aktif dalam sanggar sebagai penasehat. Mbah Pasmin dan Mbah Jumain adalah pendiri
sanggar yang masih keturunan Mbah Surowono. Lalu setelahnya, Mbah Nuh dan Mbah Slamet adalah
pendatang yang mau diajak untuk menguri-uri budaya jawa.
"Awalnya, kami
berpendapat bahwa daripada para pemuda berkumpul untuk hal-hal yang tidak baik,
maka lebih baik diisi dengan kesenian yang dirasa akan lebih bermanfaat untuk
melestarikan dan menjaga pergaulan. Dari hasil diskusi, maka dipilihlah kuda
lumping sebagai budaya yang ingin kami kembangkan dan itu turut didampingi
dengan bentuk tirakatan dari para sepuh." Cerita Mbah Jumain(77), salah
satu pendiri Sanggar Rukun Karya Budaya Sakti.
Eksistensi
Kuda Lumping Dusun Gebug Desa Kalisidi
![]() |
Foto: Nuraisah Rosita Chika Dewi |
Dua tahun sekali sanggar mendapat hibah 10 juta. Sanggar
ini pun telah mendapat pengakuan dari pemerintah provinsi. Sanggar RKBS sebagai kesenian di
daerah ini, dan merupakan sanggar yang dituakan. Faktor turun temurun dan
kesukaan orang tua menjadi alasan untuk masih terus meles-tarikan budaya ini.
Mereka menganggap ini sebagai petilasan—yang itu harus tetap dijaga.
Melakukan latihan di pusat dusun sebagai bentuk pengertian yang diberikan kepada masyarakat sangat di-perlukan dalam mengurangi kesan mistis dari
kebudayaan kuda lumping. Aji mengatakan bahwa jika dipersentasekan, ada sekitar 20 % dari keseluruhan budaya yang
berbau mistis. Selain itu gaya atau trik-trik
dilakukan untuk mengurangi kesan mistis, karena semua aksi yang dilakukan
kembali kepada Allah. Aji menambahkan, triknya
itu murni karena latihan, walau ada hal lain seperti tirakat yang menjaga. Pemain dari kebudayaan kuda lumping ini warga Dusun Gebug itu sendiri. Pada awalnya pasti ada pertentangan dari orang tua yang berdalih
karena berbahaya. Namun, para anak yang telah menjalaninya mereka menikmati dan
menjelaskan kepada orang tua mereka.
latihan dilakukan dengan cara otodidak tanpa menghadirkan
pelatih khusus, dengan sistem “yang bisa
mengajari yang tidak bisa” menjadi metode khusus. Memanfaatkan teknologi juga
dapat mempermudah, seperti setiap ada kesenian baru yang menarik bisa
dikolaborasikan—tentunya dengan
kesepekatan pemilik adat. Faktor tersebut telah membuat sanggar masih tetap exist
sampai sekarang dan selalu berinovasi.
“Kita juga tergabung dalam komunitas tari kepang Jawa Tengah. Sekarang grup kuda lumping ratusan, mana yang
berinovasi mereka yang bertahan.” Ucap Aji.
Generasi Muda dan Kuda Lumping Desa Kalisidi
![]() |
Foto: Nuraisah Rosita Chika Dewi |
Faktor keturunan pewaris juga menjadi faktor penting dalam
minat para pemuda. “Keluarga saya memang bergabung semua, sehingga saya juga
ingin melanjutkan seperti mereka” Ucap Faruq (21). Walau ada juga keluarga Tarjo(20) yang melarang namun ia tetap
mengikuti sanggar karena teman yang membersamai.
Para pemuda bahkan berharapan besar semoga ke depannya
lebih baik lagi, selalu berinovasi, kompak, dan untuk pertunjukannya dapat
mengakulturasikan gaya tari internasional dengan tradisional, dan untuk
masyarakat diharapkan untuk lebih meningkatkan kesadaran tenang kesenian ini,
Mbah
Jumain berharap bahw nantinya pemuda kalisidi dapat menjadi generasi penerus
yang dapat berinovasi dan dapt menguri-uri atau melestarikan budaya dengan
lebih maju, kuat, dan ramai. “Semoga
lebih maju, lebih kuat, dan lebih ramai. Jika maju tapi tidak ramai, maka tidak
ada yang nonton, namun jika ramai tidak ada kemajuan juga sepi. Jika ramai dan
kemajuan sudah ada maka patut diacungi jempol.” Tambah Mbah Jumain (77) sambil terkekeh kecil. (ALFIAN FATHAN MUBINA, ALVINA AJENG SRITANTI, ALISA QOTTRUN NADA MUNAWWAROH)
Komentar
Posting Komentar