HARMONI KUDA LUMPING MENYATU DI DUSUN GEBUG KALISIDI



        
Foto: Nuraisah Rosita Chika Dewi
Galih Aji Sadewa(28), pria berperawak cukup tinggi berkaos jingga datang menyambut kedatangan kami dengan ramah. Selang beberapa menit kemudian, kami sudah duduk rapi di ruang tamu rumah Aji, panggilan akrab ketua Sanggar Rukun Karya Budaya Sakti ini.
          Sanggar Rukun Karya Budaya Sakti (RKBS) , suatu sanggar tari maupun adat yang di dalamnya tidak hanya terdapat tari kuda lumping, tetapi juga ada leak dari Bali dan barongan. Budaya ini merupakan hasil dari akulturasi budaya antar komunitas budaya. Perbedaan leak Bali dan leak di sanggar ini, jika leak bali lebih dominan pada keagamaannya, sedangkan yang dibawakan sanggar Rukun Karya Budaya Sakti lebih menjorok ke budaya dan keseniannya.

Sejarah dan filosofi keberadaan Kuda Lumping di Desa Kalisidi
          Ada mitos yang dipercaya tetua warga mengenai awal keberadaan kesenian kuda lumping itu bermula dari kisah para nabi dan Rasul yang yang dipercaya umat muslim yakni berjumlah 25 nabi. Konon, semua nabi ini melakukan pacuan kuda yang setiap nabi mengendarai seekor kuda. Sayangnya, kuda yang ada hanya berjumlah 24 ekor, nabi Nuh belum mendapatkan kuda untuk dikendarai. Singkat cerita karena  antusiasnya, maka ia akhirnya menggunakan kuda kepang. Lalu nabi Nuh kesurupan oleh sukma kuda sembrani, dan akhirnya nabi Nuh memenangkan pacuan kuda tersebut. Selanjutnya dinamakan pacuan kuda lumping.
          Awal pertama yang mengenalkan Kuda lumping di tanah jawa adalah para waliterutama Sunan Kalijaga, yang menyebarkan di tanah jawa. Kuda lumping dapat sampai ke Desa Kalisidi tak lepas dari peran seorang tokoh pendiri desa bernama Surowono, yang namanya terdiri dari kata Suro berarti berani dan wono berarti alas. Beliau berasal dari Tuban dan biasa dikenal dengan sebutan mbah Sarwono. Selain kuda lumping, budaya yang dikembangkan RKBS berupa wayang, gamelan, dan lain sebagainya. Budaya tersebutlah yang sekarang dijadikan sebagai bentuk pensakralan Mbah Sarwono.
          Rukun Karya Budaya Sakti didirikan pada 1 November 1988 oleh beberapa sesepuh desa, diantaranya; Mbah Jumain, Mbah Slamet, Mbah Nuh, dan Mbah Pasmin. Namun yang masih hidup sampai sekarang hanya Mbah Jumain dan mbah Slamet yang sampai sekarang masih aktif dalam sanggar sebagai penasehat. Mbah Pasmin dan Mbah Jumain adalah pendiri sanggar yang masih keturunan Mbah Surowono. Lalu setelahnya, Mbah Nuh dan Mbah Slamet adalah pendatang yang mau diajak untuk menguri-uri budaya jawa.
          "Awalnya, kami berpendapat bahwa daripada para pemuda berkumpul untuk hal-hal yang tidak baik, maka lebih baik diisi dengan kesenian yang dirasa akan lebih bermanfaat untuk melestarikan dan menjaga pergaulan. Dari hasil diskusi, maka dipilihlah kuda lumping sebagai budaya yang ingin kami kembangkan dan itu turut didampingi dengan bentuk tirakatan dari para sepuh." Cerita Mbah Jumain(77), salah satu pendiri Sanggar Rukun Karya Budaya Sakti.

Eksistensi Kuda Lumping Dusun Gebug Desa Kalisidi 
Foto: Nuraisah Rosita Chika Dewi
          Sanggar Rukun Karya Budaya Sakti (RKBS) merupakan sanggar tertua di Ungaran Barat, oleh karenanya dijadikan sebagai pusat kegiatan kuda lumping berlangsung. Anggota aktif sekarang kurang lebih 56 anggota yang terdiri dari anak kelas 3 SD sampai sesepuh desa yang berperan sebagai penanggung jawab. Banyak anggota sanggar adalah anak cucu dari pendiri sanggar ini, oleh karena itu para orang tua juga mendukung. Latihan yang dilakukan rutin dua kali sebulan, yakni setiap Selasa malam pekan pertama dan ketiga.
          Dua tahun sekali sanggar mendapat hibah 10 juta. Sanggar ini pun telah mendapat pengakuan dari pemerintah provinsi. Sanggar RKBS sebagai kesenian di daerah ini, dan merupakan sanggar yang dituakan. Faktor turun temurun dan kesukaan orang tua menjadi alasan untuk masih terus meles-tarikan budaya ini. Mereka menganggap ini sebagai petilasan—yang itu harus tetap dijaga.
          Melakukan latihan di pusat dusun sebagai bentuk pengertian yang diberikan kepada masyarakat sangat di-perlukan dalam mengurangi kesan mistis dari kebudayaan kuda lumping. Aji mengatakan bahwa jika dipersentasekan, ada sekitar 20  % dari keseluruhan budaya yang berbau mistis. Selain itu gaya atau trik-trik dilakukan untuk mengurangi kesan mistis, karena semua aksi yang dilakukan kembali kepada Allah. Aji menambahkan, triknya itu murni karena latihan, walau ada hal lain seperti tirakat yang menjaga. Pemain dari kebudayaan kuda lumping ini warga Dusun Gebug itu sendiri. Pada awalnya pasti ada pertentangan dari orang tua yang berdalih karena berbahaya. Namun, para anak yang telah menjalaninya mereka menikmati dan menjelaskan kepada orang tua mereka.
          latihan dilakukan dengan cara otodidak tanpa menghadirkan pelatih khusus,  dengan sistem “yang bisa mengajari yang tidak bisa” menjadi metode khusus. Memanfaatkan teknologi juga dapat mempermudah, seperti setiap ada kesenian baru yang menarik bisa dikolaborasikan—tentunya dengan kesepekatan pemilik adat. Faktor tersebut telah membuat sanggar masih tetap exist sampai sekarang dan selalu berinovasi. “Kita juga tergabung dalam komunitas tari kepang Jawa Tengah.  Sekarang grup kuda lumping ratusan, mana yang berinovasi mereka yang bertahan.” Ucap Aji.

Generasi Muda dan Kuda Lumping Desa Kalisidi
Foto: Nuraisah Rosita Chika Dewi
    Antusiasme generasi muda Dusun Gebug sangat tinggi.  Mereka biasanya menonton dan mengutarakan bahwa mereka ingin bergabung. Mungkin karena mereka menganggap ini adalah kegiatan yang lebih positif.  Ingin berperan untuk melestarikan budaya agar tidak punah dan berniat untuk nguri-uri budaya jawa membuat Kuda Lumping sudah menjadi point of interest di kalangan pemuda. Hal ini ditambah dengan sanggar RKBS ini juga sudah mendapat nama di tengah masyarakat. Tak jarang pula jika ada event sekolah, seperti pramuka, maka pemuda tak sungkan untuk  menampilkan tarian kuda lumping ini.

Faktor keturunan pewaris juga menjadi faktor penting dalam minat para pemuda. “Keluarga saya memang bergabung semua, sehingga saya juga ingin melanjutkan seperti mereka” Ucap Faruq (21). Walau ada juga keluarga  Tarjo(20) yang melarang namun ia tetap mengikuti sanggar karena teman yang membersamai.
          Para pemuda bahkan berharapan besar semoga ke depannya lebih baik lagi, selalu berinovasi, kompak, dan untuk pertunjukannya dapat mengakulturasikan gaya tari internasional dengan tradisional, dan untuk masyarakat diharapkan untuk lebih meningkatkan kesadaran tenang kesenian ini,
          Mbah Jumain berharap bahw nantinya pemuda kalisidi dapat menjadi generasi penerus yang dapat berinovasi dan dapt menguri-uri atau melestarikan budaya dengan lebih maju, kuat, dan ramai. “Semoga lebih maju, lebih kuat, dan lebih ramai. Jika maju tapi tidak ramai, maka tidak ada yang nonton, namun jika ramai tidak ada kemajuan juga sepi. Jika ramai dan kemajuan sudah ada maka patut diacungi jempol.” Tambah Mbah Jumain (77) sambil terkekeh kecil. (ALFIAN FATHAN MUBINA, ALVINA AJENG SRITANTI, ALISA QOTTRUN NADA MUNAWWAROH)



Komentar

Postingan Populer