Afsun
***
Aku ngga sebegitunya baik di mata orang, termasuk kamu.
Remaja jangkung itu kini memandang layar gawainya dengan sayu. Ia tahu—atau bahkan khawatir bahwa yang dia inginkan tak sebegitu mudah tuk didapatkan.
Lalu apa salahnya jika aku suka dengannya?
Saat hati tak dapat menahan rasa itu, ia kembali menyesali dirinya sekarang. Padahal pakaian tak begitu kumuh, wajah sawo matang tak tergolong gelap, cita-cita jangan ditanya lagi. Banyak “teman” yang mengiranya seorang yang sangat beruntung. Mungkin karena pendidikannya. Ia memang sedang berkuliah, yah walau di kampus yang tak begitu sesuai ekspektasinya tapi setidaknya jurusan yang ia ambil tak main-main. Bagaimana tidak? Jurusan yang ia ambil merupakan favorit di kampusnya.
Modal seperti itu pun justru belum bisa meyakinkan dirinya akan suatu hal. Laiknya bubuk coklat, manis padahal sejatinya pahit. Kenangan manis yang masih teringat terus menerornya tanpa henti. Bukankah kenangan manis itu menyenangkan? Ya itu dulu. Baginya, itu justru sebuah tekanan.
***
Suatu saat di toko tempat ibunya bekerja, ia masih anak-anak berkejar-kejaran dengan gadis yang baru saja dikenalnya. Gadis anak teman ibunya itu begitu asyik bermain dengan adiknya saat Alin baru saja mengajaknya bermain bersama. Sungguh hari yang indah baginya sore itu.
Tak berselang beberapa waktu setelah hari itu, ternyata orang tua keduanya mendaftarkan mereka di satu sekolah. Begitu polosnya dia saat itu hingga sangat canggung saat berkomunikasi dengan teman barunya. Tapi tak saat dengan gadis itu. Mereka saling mengenal sebelumnya walau tak tahu nama masing-masing.
Mereka tak selalu bersama, tapi seringkali beriringan dalam mewakili sekolah mereka di suatu ajang. Lomba olimpiade, cerdas cermat, dan banyak lagi. Namun, bagi Alin, hal terindah malah datang saat perpisahan tiba.
Ujian akhir sekolah konon cikal bakal kenangan itu masih ada.
Masa sekolah hampir selesai, segenap ujian akhir akan banyak dijalani para siswa, tak terkecuali Alin. Hingga sampailah pada ujian akhir praktek. Sekolah mereka masih baru dan ini pertama kalinya sekolah mengadakan ujian akhir. Terlebih administrasinya yang masih baru menyebabkan sekolah belum bisa mengadakan ujian secara independen, melainkan menumpang di sekolah yang sudah diverifikasi dan diperbolehkan mengadakan ujian.
Suatu mata pelajaran, diumumkan kepada seluruh siswa untuk membuat taman mini secara berkelompok.
“Baik anak-anak, ibu akan membacakan kelompok kalian ya. Dengarkan baik-baik. Ibu membagi kalian menjadi 4 kelompok ya.”
“Kelompok satu, Zaybi, Puspa, Salsa, Nur, Setiyo, Brian.” Seterusnya Bu Daru membacakan kelompok hingga kelompok ketiganya.
“Kalian yang belum ibu bacakan namanya, menjadi satu kelompok tersisa ya.” Sebagian siswa saling melirik menoleh, meihat siapa saja yang menjadi kelompok terakhir itu.
“Selanjutnya, kalian kumpul setiap kelompok untuk mendiskusikan nama kelompok dan tema apa yang kalian ambil untuk membuat taman mini.” Semua siswa menempati tempat sesuai kelompoknya, tak terkecuali kelompok terakhir tadi.
Tanpa disadari, Alin berkelompok dengannya, selalu saja bocah polos itu terpesona dengan auranya. Senyumnya tersungging indah membuyarkan konsentrasi para siswa, tak terkecuali Alin. Sekejap kemudian, setiap kelompok berdiskusi. Ide yag cemerlang keluar dengan sesaat dari otak brilian Alin, terlebih ada pemantik semangatnya kala itu.
Ibu Daru segera menanyakan setiap kelompok mengenai hasil diskusi mereka. Sampailah pada kelompok terakhir, sesaat kemudian suara manis itu keluar mengalun indah memecah suasana.
“Nama kelompok kami Melati bu, dan tema yang kami ambil adalah Oasis. Jadi kami ingin membuat kolam air dengan komunitas tanaman di sekelilingnya. Itu ide dari Alin bu, dan kami setuju dengannya.” Mendengar kalimat terakhir itu, raga Alin entah di mana sudah, melayang entah kemana.
Memang, Nazda menjadi sekretaris sekaligus juru bicara di kelompok mereka. Dengan ketua, sudah pasti Alin. Bocah polos dengan seribu idenya itu.
***
Aku ngga kaya dulu lagi, buntu ide apalagi berimajinasi..
Remaja jangkung itu kini memandang layar gawainya dengan sayu. Ia tahu—tanpa lagi khawatir bahwa yang dia inginkan tak sebegitu mudah tuk didapatkan.
Lalu apa salahnya jika aku mencintainya?
Masa lalu hanya akan selalu tertinggal semu, kenangan itu hanya dianggap cerita konyolnya sekarang. Pakaian tak begitu rapi, tatap wajah ke depan yang lebih matang, cita-cita yang sudah menjadi kenyataan. Banyak “rekan” yang mengiranya seorang yang sangat menyedihkan. Mungkin karena kisah cintanya. Ia memang sedang berkerja, di biro konsultan ternama bahkan, Tapi siapa yang kuat saat menerima kisah cinta yang pupus—sadis bahkan jika dibilang. Bagaimana tidak? Tak direstui keluarga sendiri, bahkan ditolak mentah-mentah dengan keluarga calon besan.
Naif tapi nyata, diusir dari rumah keluarga dan tak dianggap, dilupakan sudah dengan kekasih. Ya, Gadis manis yang dulu menarik seluruh afsunnya kini telah menemui pangerannya. Bak coklat panas, perih tapi manis. Kenangan pahit yang masih teringat untuk terus memotivasinya tanpa lelah. Bukankah kenangan kelam itu menyedihkan? Ya itu dulu. Baginya, itu justru sebuah dorongan.
***
Cambridge, 8.00 AM
Setiap orang memiliki skenario terbaiknya masing-masing. Anggapan yang selalu Alin pegang. Menyedihkan memang, jika melihat kisah hidupnya. Itu tak dihiraukanya lagi. Semua capaian memang tak sesuai ekspektasi. Tapi terkadang kebetulanlah yang mengubah dan mendominasi tanpa disadari.
Di pinggir taman Kota Cambridge itu dia sibuk membaca. Semua tulisan hasil karyanya, terkadang terasa geli saat melihat kembali kenangan tangannya mengukir kisah konyolnya. Baginya tidak membosankan, walau mungkin bagi sebagian orang sangat membingungkan. Tuhan memiliki cara tersendiri untuk memberi yang terbaik bagi hamba-Nya. Hikmah yang indah. Sejenak ia tersenyum tipis sebelum seseorang sebayanya memanggil dari kejauhan.
“Mas.”
“Iya Say. Habis dari mana aja?”
“Barusan beli marshmello buat buka nanti. Dah nungguin lama ya? Maaf ya.”
Melihat senyuman itu, rasa itu selalu kembali terkobar. Alin terpukau dengannya.
“Hhh, gapapa. Toh juga buat mas kan?”
“Enak aja. Buat aku sama dek Fatin lah. Mas beli sendiri dong.”
“Yah, kirain.” Ekspresi murung selalu diperlihatkannnya, tanda saat candaan ringan selalu berakhir naas baginya. Bukankah memang selalu begitu?
Sekarang dan masa depan masih ada. Kita boleh berasal dari orang tak dianggap, tapi setidaknya akhir hidup kita perlu untuk setidaknya dikenang. Bagaimanapun, Alin telah berbahagia bersamanya, gadis yang walau selintas kenal, justru siap mendampinginya.
Komentar
Posting Komentar