PENIPU RASA
Makanan mi sudah banyak diminati masyarakat luas di Indonesia. Entah apa yang merasuki orang-orang hingga bisa sangat menyukai makanan yang satu ini. Padahal dari segi gizi dan kandungannya saja belum bisa diutarakan dengan jelas. Namun lucunya, semua fakta kesehatan yang membahas mi ini seakan kalah dengan bentuk paduan rasa dari mi yang sangat khas dan beraneka ragam.
![]() |
Sumber : Majalah Tempo |
Bicara mi, di Indonesia sendiri sudah tak diragukan lagi keberadaan merek mi yang sangat melegenda. Semua orang pasti tahu Indomie. Bahkan namanya saja sudah menggambarkan majas metonimia dari mi itu sendiri. Aduh laper nih, makan indomie yok! Padahal mi yang dimakan pun bukan merek yang sama.
Seiring berkembangnya zaman, mi yang mulanya dibuat dengan berbagai proses yang panjang, sekarang dapat diringkas dalam suatu proses yang instan dilakukan. Pada 1969 muncullah sebutan mi instan di masyarakat luas Indonesia. Awalnya, Indomie memulai lebih dulu pada tahun 1972 yang diterima dan berkembang pesat karena harganya dinilai terjangkau, mudah disajikan, dan cenderung lebih awet dari mi biasanya. Mi instan pun kemudian dibagi dalam dua jenis, mi kuah atau rebus dan mi goreng. Padahal kita tahu bahwa keduanya pun sama saja dalam hal cara memasaknya, sama-sama direbus. Mi goreng pun sebenarnya tidak digoreng.
Sekarang banyak masakan dapat disajikan dalam sebungkus Indomie. Sehingga muncul stigma bahwa Indomie ini telah berdosa 7 turunan atau bahkan generasi karena produk yang dibuatnya. Pasalnya, hampir semua makanan tradisional Indonesia sendiri sudah dapat dinikmati dengan mudah dan murah dalam sebungkus Indomie. Padahal masakan tradisional aslinya banyak proses dan tradisi yang harus diperhatikan dalam pembuatannya.
Cara penyajian kuliner tradisional pun tidak hanya untuk sendiri tapi kolektif untuk bersama-sama, bukan sekadar instan begitu saja. Semisal cara memasak masakan rendang asli tentu berbeda dengan rendang indomie yang hanya memberikan sensasi imajinasi rasa yang sebenarnya menipu penikmatnya. Hal ini mengingatkan pada lagu Tata Jenita, Penipu Rasa, eh Penipu Hati deng. Sebagai penipu hati kau telah gagal/Membodohiku seperti yang lain/Andai telat kusadari ‘ku ’kan lebih sakit hati/Untung saja lebih cepat kutahu
Dari iklan Indomie pada Tempo 20-26 juli 2015, terpampang jelas tulisan Bikin Santai Makin Hangat dan terdapat pose tiga orang yang salah satunya Nikolas Saputra berada di tengah sedang memakan masing-masing semangkuk mi dengan latar belakang pegunungan. Tak kalah produk awal Indomie pun tersedia dalam gambar yang diletakkan di atas batu. Seperti kita tahu bahwa diantaranya ada mi kuah rasa kaldu ayam dan kari ayam identik dengan kemasannya yang berwarna kuning, mi kuah soto identik warna hijau, mi kuah ayam bawang dan ayam spesial identik warna jingga. Selanjutnya baru muncul mi goreng yang identik dengan warna putih. Pemilihan model iklan yang tak diragukan lagi, menambah penikmat indomie bergairah dalam mengonsumsi mi yang satu ini.
Iklan itu pun memunculkan pertanyaan bahwa memangnya ada yang sebegitu minatnya membawa semangkuk mi ke atas gunung, padahal adanya hanya di warung, toko atau pusat pembelanjaan. Faktanya, banyak para anak muda yang biasa membawa bekal mi instan saat mendaki satu gunung. Tentunya dengan alasan yang sudah dipaparkan sebelumnya.
Dosa Indomie dalam trik pemasarannya pun semakin bertambah seiring dengan seringnya kita lihat di setiap iklan indomie—bahkan merk mi instan lainnya yang menyuguhkan produk yang tampak banyak dan begitu lezat dengan tambahan topping yang sebenarnya tak terdapat dalam kemasan mi instan tersebut. Ini mengingatkanku akan iklan Indomie dalam Tempo 29 September-5 Oktober 2014, dihadirkan produk indomie mi goreng rasa Dendeng Balado khas Padang dan mi rasa Soto Lamongan. Dalam iklan tersebut tertulis Kuliner Indonesia-Toppingnya Beda, Asli Ngegigit. Sungguh ironis. Ditambah trik pemasaran dalam penampilan yang disajikan dengan memberikan motif kain songket Padang dan kain tenun ikat lamongan memperlihatkan kesan bahwa “Indomie sangatlah Indonesia”. Mi instan indomie yang tampak banyak pun karena porsi dalam penyajian iklan ditambah dua kali lipat porsi sebenarnya. Dengan begitu, lengkap sudah catatan dosa Indomie dalam menipu para penikmatnya yang terbodohi dengan recehnya teknik pemasaran merek di bawah naungan industri indofood itu.
Bermodal nama indo di depannya, Indofood tampak seakan yang memegang saham terbesar di industri pangan di Indonesia. Bahkan dalam logonya saja terlihat sombongnya slogan berbunyi “Lambang Makanan Bermutu”. Mungkin itu pula yang mendorong Indomie tetap eksis hingga saat ini. Terlebih juga karena produknya yang menyajikan kuliner tradisional bahkan internasional. Walau sekarang sudah banyak kita kenal berbagai merek mi instan yang semakin banyak saja bermunculan. Ternyata Indomie juga tak ingin tersingkir dalam dunia persaingan penipu konsumen mi instan. Indomie terus mencoba berkreasi dengan produknya yang mulai merambah kuliner luar.
Indomie kemudian membuat produk kuliner mancanegara khas asia yang terangkum dalam Indomie Taste of Asia. Di awal menu yang dihadirkan indomie yakni bentukan tiga kuliner, mi kuah rasa Tomyum ala Thailand, mi goreng rasa Bulgogi ala Korea, dan mi kuah rasa Laksa ala Singapura. Contohnya saja iklan Indomie dalam Tempo, 13-19 Januari 2014. Lucunya yakni bagaimana ada gambar sepiring mi di depan dari setiap rasanya, padahal dalam kemasan yang ditampilkan saja sudah terpampang gambar yang sama. Seakan bertujuan sebagai penekanan bahwa porsi yang disajikan memang menjanjikan.
Alih-alih begitu banyak yang menganggap dan bahkan mengakui bahwa Indomie sudah mendunia. Padahal Indomie saja paling banyak terjual di Aljazair dan negara di sekitar Afrika Utara dan Timur Tengah. Masalah distribusi pun sangat dipengaruhi dengan kemasan yang membungkus mi indomie. Makanya bahan kemasan dari Indomie dalam Taste of Asia terlihat lebih eksklusif dibanding dengan kemasan Indomie biasanya. Ditambah lagi dengan alih-alih alasan diadakanya menu itu dengan kalimat persembahan terbaru yang diharapkan mampu memuaskan para konsumen di Indonesia untuk menjelajahi kuliner Asia yang autentik. Memang akan bisa memuaskan dengan cara menipu dalam indahnya imajinasi rasa racikan para pakar bahan kimia?
Lagi-lagi masalah propaganda penipu berdasi di bidang politik pemasaran sangat berpengaruh dalam pendapatan dan keberhasilan suatu industri agar tetap berjalan. Indomie pula memakainya dalam segi bentuk, jenis, dan kemasan produk yang dibuatnya. Iklan Tempo, 23 Mei 1992 menjadi bukti bahwa dengan jenis dan kemasan produk yang baru, politik pemasaran turut bermain-main ria di dalamnya. Padahal hanya dengan bermodal bentuk kemasan berupa cup dan tiga rasa yang sebenarnya terlihat biasa, Baso, Ayam, dan Sup Tomat. Dengan latar jalan raya yang penuh kesibukan, tentu ini memberi stigma bahwa indomie pop mie sangat fleksibel dalam hal tempat dan waktu menyantapnya.
Sesuatu yang baru pasti sangat membuat gairah karena kebosanan para penikmat yang sejatinya juga manusia, mereka pun juga bosan akan rasa mi instan yang itu-itu saja. Lucunya, ini tak berlaku bagi anak kuliahan yang sering kali menyetok mi instan di kosannya alih-alih untuk persediaan makanan. Toh kita tahu itu terjadi karena ada keterpaksaan di dalamnya. Tak ada uang di akhir bulan mungkin. Masa iya karena Indomie seleraku…?
Bicara anak kuliah, mereka pasti sangat mengenal makanan khas yang terjangkau, apalagi kalau bukan ayam geprek. Rasanya yang menantang karena pedasnya dan lauk ayam yang terasa berbeda saat diulek dengan sambal, seakan menjanjikan mereka untuk tidak melupakan menu yang satu ini. Karena ketenarannya ini, bahkan indomie pun ikut pula mengadopsinya dalam indomie goreng rasa ayam geprek. Sampai produk indomie yang satu ini dimuat dalam Tempo, 22-28 Juli 2019.
Gambar Indomie ayam geprek yang disajikan dalam cobek tentu sangat mewakili menu ayam geprek yang memang diulek dengan sambal. Tak tertinggal tulisan Hype Abiss.. terlihat dengan efek pedas yang membersamai. Seakan simbol ini menyindir pemuda yang gagah dan semangat membara untuk berani akan tantangan. Lagi-lagi kebohongan di tutupi propaganda yang dibungkus dengan cantiknya. Untung saja aku tahu lebih dulu.
x
Komentar
Posting Komentar